Minggu, 12 Agustus 2012

BUDAYA KONTEKS TINGGI DAN RENDAH

A. BUDAYA KONTEKS TINGGI DAN RENDAH Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah konteks. Hall (1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil. Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “di¬atur, eksplisit, dan disampai¬kan”. Teman yang sudah lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pe¬san implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, se¬nyuman, atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan. Dalam situa¬si atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa dida¬patkan dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer me¬nun¬tut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja. Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupa¬kan budaya-bu¬daya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eks¬plisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bah¬wa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan po¬kok masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984). Komunikasi jelas sangat berbeda dalam budaya KT dan KR. Pertama, bentuk komunikasi eksplisit seperti kode-kode verbal lebih tampak dalam budaya KR seperti Amerika dan Eropa Utara. Orang-orang dari budaya KR sering dianggap terlalu cerewet, mengulang-ulang hal yang sudah jelas, dan berlebih-lebihan. Orang-orang dari bu¬daya KT mungkin dianggap tidak terus terang, tidak terbuka, dan misterius. Kedua, budaya KT tidak menghargai komunikasi verbal seperti budaya KR. Orang-orang yang lebih banyak bicara dianggap lebih menarik oleh orang Amerika, tetapi orang yang ku¬rang banyak bicara dianggap lebih menarik di Korea seperti suatu budaya berkonteks tinggi. Ketiga, budaya KT lebih banyak menggunakan komunikasi nonverbal dari pada budaya-budaya KR. Budaya KR, dan khususnya kaum pria dalam budaya KR, tidak da¬pat merasakan komunikasi nonverbal sebaik anggota budaya KT. Komunikasi nonverbal memberikan konteks untuk semua komunikasi, tetapi orang-orang dari budaya KT sangat dipengaruhi isyarat-isyarat kontekstual. Dengan demikian, ekspresi wajah, ketegangan, tindakan, kecepatan interaksi, tempat interaksi, dan pernak-pernik perilaku nonverbal lainnya dapat dirasakan dan mempunyai lebih banyak makna bagi orang-orang dari budaya konteks tinggi.Terakhir, orang-orang dari budaya KT meng¬harap¬kan lebih banyak komunikasi nonverbal dibandingkan pelaku interaksi dari budaya KR. Orang-orang dari budaya KT mengharapkan para komunikator untuk memahami perasaan yang tidak diungkapkan, isyarat-isyarat yang halus, dan isyarat-isyarat lingkungan yang tidak dihiraukan oleh orang-orang dari budaya KR Secara tidak sadar kebudayaan yang dikuasai oleh ideology baru seperti ini menggiring masyarakat sebagai masyarakat yang diam “silent majority”, yaitu masyarakat yang tidak kreatif`dan dikendalikan oleh sekelompok kepentingan tertentu (industri, kapitalis), termasuklah pengendalian tersebut terhadap identitas asli mereka sehingga identitas tersebut tidak muncul atau terhambat perkembangannya. Seperti virus bahasa gaul yang saat ini tengah menginfeksi remaja diperkotaan bahkan telah menjalar hingga ke pinggiran kota, bahasa gaul tersebut telah mengalahkan bahasa daerah yang biasa disebut dengan bahasa ibu mereka. Mempergunakan bahasa dengan budaya daerahnya dianggap ketinggalan zaman, tidak modern, bahkan sebagian remaja malu bila harus mempertahankan bahasa maupun budaya daerah dalam pergaulan sehari-hari . B. KONSUMERISME Hakekat dari budaya konsumerisme adalah memuat seluruh kegiatan konsumsi dengan makna-makna simbolik tertentu (prestise, status dan klas) dengan pola dan tempo pengaturan tertentu. Yaitu sebuah budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan perbedaan secara terus menerus lewat penggunaan objek-objek komoditi, sebuah budaya belanja yang didorong oleh logika hasrat (desire) dan keinginan (want) ketimbang logika kebutuhan (need). Dengan kata lain menjadikan komoditi (barang) sebagai objek untuk menentukan ukuran kebahagiaan, status ekonomi hidup seseorang. Tentunya hal ini akan menciptakan “ketidakpuasan abadi” terhadap apa yang ada seperti penampilan, fungsi dan penampakan citra dari objek komoditi tersebut. Dengan menciptakan kebutuhan yang bukan esensial melainkan artificial. Budaya konsumerisme dan masyarakat konsumtif tidak dapat dipisahkan dari wacana-wacana kapitalisme global, wacana ini dibangun atas kondisi persaingan yang tinggi antar perusahaan maupun produsen, persaingan ketat dalam masyarakat konsumtif sehingga membuat komoditi sebagai cara untuk menciptakan perbedaan antar individu. Kita akan merasa hebat dan berkelas jika merk atau tipe handphone yang dipergunakan berbeda bahkan diatas tipe/merk handphone orang lain disekitar atau mobil yang dipergunakan keluaran terbaru bahkan para wanita akan merasa menarik jika mempergunakan jenis baju-baju tertentu seperti tanktop atau you can see. Terlihat disini dunia yang dibentuk dari budaya konsumerisme berdasarkan nilai-nilai keterpesonaan saja, menafikkan esensi dari sebuah komoditi tersebut. Yang dijadikan konstruksi pada masyarakat konsumtif adalah daya pesona terhadap pencitraan dan penampakan, tanpa memperdulikan nilai-nilai esensinya terutama nilai-nilai transendennya seperti nilai-nilai spiritualitas. Masyarakat seperti ini dapat kita sebut sebagai masyarakat tontonan yang selalu dituntut untuk mempertontonkan penampilan dan penampakan diri secara narsistik kepada orang lain . C. BUDAYA POPULAR Perkembangan industrialisasi, kapitalisme dan konsumerisme merupakan factor dominan dari penciptaan budaya popular (popular culture). Menurut Thodor Adorno seorang pemikir Frankfurt School, dalam bukunya the culture industri, ia membagi budaya menjadi 2 bagian yaitu high culture dan low culture. High culture atau budaya kelas tinggi yaitu budaya yang mempunyai standart (kualitas, selera dan estetika) yang tinggi, diciptakan dari kemampuan berkreatifitas dan daya inovasi tinggi sehingga menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda. Sedangkan low culture kebalikan dari high culture tersebut, mengandalkan pada teknik reproduksi, pengulangan dan imitasi dari apa yang ada sebelumnya. Motif utama dalam hal ini adalah keuntungan (profit). Imajinasi pop merupakan bentuk imajinasi yang dicirikan oleh sifat dasar, rendah dan umum. Termasuklah dalam imajinasi poular ini adalah komunikasi, cara berfikir, ritual, symbol dan seni. 1. Cara berfikir (popular thinking) yaitu cara berfikir yang dipengaruhi oleh budaya pop, berfikir praktis hanya mengedepankan selera massa dengan sifat dangkal tidak subtantif. 2. Komunikasi popular, dicirikan oleh sifat-sifat permukaan tidak menyentuh isi, lebih menjurus pada hiburan ketimbang pendidikan, menawarkan rasa kesenagan daripada pengetahuan. Da’I tak ubahnya seperti selebritis dihadapan penggemarnya sehingga para penggemar tersebut lebih memilih mengoleksi barang-barang mereka, meniru penampilan mereka seperti model baju, model rambut bukannya mengamalkan dan menjalankan perintah maupun isi dari dakwah yang disampaikan. 3. Ritual popular yakni bermacam ritual keagamaan yang secara massal dilakukan dengan paradigma budaya pop serta mempergunakan logika komoditi. 4. Symbol popular terjadinya pencampuran kontradiktif antara wacana simbolik tertentu dengan symbol popular, dengan kata lain symbol-simbol popular digunakan dalam wacana tertentu seperti politik, pendidikan, kesehatan dll. Ideology konsumerisme dan budaya popular tersebut diatas telah menggiring masyarakat kedalam bentuk pendangkalan pemikiran, mengutamakan sifat permukaan serta pencitraan saja. Ideology popular dan konsumerisme mengutamakan citra ketimbang makna, kulit luar dibanding isi, popularitas ketimbang intelektualitas, yang tentunya kan menghambat proses pencerahan kebudayaan dan menghambat perkembangan identitas diri sebab tanpa sadar kita digiring pada penampakan luar yang semu. Untuk itulah kewaspadaan terhadap kedua budaya ini menjadi penting bagi kelangsungan budaya bangsa, jika tidak menginginkan budaya lokal tergerus oleh arus globalisasi ini . D. PERUBAHAN BUDAYA Kedatangan orang asing yang berbeda kebudayaan dapat mendorong terjadinya Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan. Gerak sosial Gerak sosial (Mobilitas sosial) adalah perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan status dan peran anggotanya. Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup. Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Secara umum, cara orang untuk dapat melakukan mobilitas sosial ke atas adalah sebagai berikut  Perubahan standar hidup  Perkawinan Untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi dapat dilakukan melalui perkawinan.  Perubahan tempat tinggal  Perubahan tingkah laku  Perubahan nama Ada beberapa faktor penting yang justru menghambat mobilitas sosial. Faktor-faktor penghambat itu antara lain sebagai berikut : Perbedaan kelas rasial, Agama, Diskriminasi Kelas, dan Kemiskinan dan Perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap prestasi, kekuasaan, status sosial, dan kesempatan-kesenmpatan untuk meningkatkan status sosialya. Beberapa bentuk mobilitas sosial Mobilitas sosial horizontal Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya. Mobilitas sosial vertikal Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dapat dibagi menjadi dua, mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking). Mobilitas vertikal ke atas (Social climbing) Mobilitas vertikal ke atas atau social climbing mempunyai dua bentuk yang utama • Masuk ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. • Membentuk kelompok baru. Mobilitas vertikal ke bawah (Social sinking) Mobilitas vertikal ke bawah mempunyai dua bentuk utama. • Turunnya kedudukan. • Turunnya derajat kelompok. Mobilitas antargenerasi Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Mobilitas intragenerasi Mobilitas intragenerasi adalah mobilitas yang terjadi di dalam satu kelompok generasi yang sama. Gerak sosial geografis Gerak sosial ini adalah perpindahan individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain seperti transmigrasi, urbanisasi, dan migrasi. Mobilitas sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:  Perubahan kondisi sosial  Ekspansi teritorial dan gerak populasi  Komunikasi yang bebas  Pembagian kerja  Tingkat Fertilitas (Kelahiran) yang Berbeda Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Contoh: Indonesia yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika didukung oleh sumber daya yang memiliki kualitas. Kondisi ini perlu didukung dengan peningkatan dalam bidang pendidikan . BAB III PENUTUP KESIMPULAN 1) Perubahan budaya juga sangat berpengaruh dalam dimensi kehidupan? Sehingga orang bisa beranggapan apa itu budaya konteks tinggi dan budaya onteks rendah. 2) Konteks ini ditujukan kepada masyarakat yang berbudaya agar saling melaksanakan komunikasi antar budaya (tingkat tinggi/rendah). sehingga keseimbangan antar budaya. 3) Anggapan yang khas menimbulkan kesan yang melebih agungkan budaya sendiri (etnosentrisme), yang kemudian juga sebagian lahir budaya majoritas. 4) Bahasa sangat berpengaruh penting dalam konteks tinggi dan rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar